Riba Dain
Riba ini disebut juga dgn riba jahiliyah sebab riba jenis inilah yg terjadi pada jaman jahiliyah.
Riba ini ada dua bentuk:
a. Penambahan harta sebagai denda dari penambahan tempo .
Misal:
Si A hutang Rp 1 juta kepada si B dgn tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo
si B berkata: “Bayar hutangmu.” Si A menjawab: “Aku tdk punya uang. Beri
saya tempo 1 bulan lagi dan hutang saya menjadi Rp 1.100.000.” Demikian
seterusnya.
Sistem ini disebut dgn riba mudha’afah . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
“Hai orang2 yg beriman janganlah kamu memakan riba dgn berlipat ganda.”
b. Pinjaman dgn bunga yg dipersyaratkan di awal akad
Misalnya:
Si A hendak berhutang kepada si B. mk si B berkata di awal akad: “Saya
hutangi kamu Rp 1 juta dgn tempo satu bulan dgn pembayaran Rp
1.100.000.”
Riba jahiliyah jenis ini adl riba yg paling besar dosa
dan sangat tampak kerusakannya. Riba jenis ini yg sering terjadi pada
bank-bank dgn sistem konvensional yg terkenal di kalangan masyarakat dgn
istilah “menganakkan uang.” Wallahul musta’an.
Faedah penting:
Termasuk
riba dlm jenis ini adl riba qardh . Gambaran seseorang meminjamkan
sesuatu kepada orang lain dgn syarat mengembalikan dgn yg lbh baik atau
lbh banyak jumlahnya.
Misal: Seseorang meminjamkan pena seharga Rp.
1000 dgn syarat akan mengembalikan dgn pena yg seharga Rp. 5000. Atau
meminjamkan uang seharga Rp 100.000 dan akan dikembalikan Rp 110.000
saat jatuh tempo.
Ringkas tiap pinjam meminjam yg mendatangkan keuntungan adl riba dgn argumentasi sebagai berikut:
1. Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
“Setiap pinjaman yg membawa keuntungan adl riba.”
Hadits ini dha’if. dlm sanad ada Sawwar bin Mush’ab dia ini matruk . Lihat Irwa`ul Ghalil .
Namun
para ulama sepakat sebagaimana yg dinukil oleh Ibnu Hazm Ibnu Abdil
Barr dan para ulama lain bahwa tiap pinjam meminjam yg di dlm
dipersyaratkan sebuah keuntungan atau penambahan kriteria atau
penambahan nominal termasuk riba.
2. Tindakan tersebut termasuk riba
jahiliyah yg telah lewat penyebutan dan termasuk riba yg diharamkan
berdasarkan Al-Qur`an As-Sunnah dan ijma’ ulama.
3. Pinjaman yg
dipersyaratkan ada keuntungan sangat bertentangan dgn maksud dan tujuan
mulia dari pinjam meminjam yg Islami yaitu membantu mengasihi dan
berbuat baik kepada saudara yg membutuhkan pertolongan. Pinjaman itu
berubah menjadi jual beli yg mencekik orang lain. Meminjami orang lain
Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000 sama dgn membeli Rp. 10.000 dibayar Rp.
11.000.
Ada beberapa kasus yg masuk pada kaidah ini di antaranya:
a.
Misalkan seseorang berhutang kepada syirkah Rp 10.000.000 dgn bunga 0%
dgn tempo 1 tahun. Namun pihak syirkah mengatakan: “Bila jatuh tempo
namun hutang belum terlunasi mk tiap bulan akan dikenai denda 5%.”
Akad
ini adl riba jahiliyah yg telah lewat penyebutannya. Dan cukup banyak
syirkah atau yayasan yg menerapkan praktik semacam ini.
b. Meminjami
seseorang sejumlah uang tanpa bunga utk modal usaha dgn syarat pihak yg
meminjami mendapat prosentase dari laba usaha dan hutang tetap
dikembalikan secara utuh.
Modus lain yg mirip adl memberikan sejumlah
uang kepada seseorang utk modal usaha dgn syarat tiap bulan dia
mendapatkan –misalnya– Rp 1 juta baik usahanya untung atau rugi.
Sistem ini yg banyak terjadi pada koperasi BMT bahkan bank-bank syariah pun menerapkan sistem ini dgn istilah mudharabah .
Mudharabah
yg syar’i adalah: Misalkan seseorang memberikan modal Rp. 10 juta utk
modal usaha dgn ketentuan pemodal mendapatkan 50% atau 40% atau 30% dari
laba hasil usaha. Bila menghasilkan laba mk dia mendapatkan dan bila
ternyata rugi mk kerugian itu ditanggung bersama . Hal ini sebagaimana
yg dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dgn orang Yahudi
Khaibar. Wallahul muwaffiq.
Adapun transaksi yg dilakukan oleh mereka
pada hakekat adl riba dain/qardh ala jahiliyah yg dikemas dgn baju
indah nan Islami bernama mudharabah. Wallahul musta’an.
c. Mengambil keuntungan dari barang yg digadaikan
Misal:
Si A meminjam uang Rp 10 juta kepada si B dgn menggadaikan sawah seluas
05 ha. Lalu pihak pegadaian memanfaatkan sawah tersebut mengambil hasil
dan apa yg ada di dlm sampai si A bisa mengembalikan hutangnya.
Tindakan tersebut termasuk riba namun dikecualikan dlm dua hal:
1.
Bila barang yg digadaikan itu perlu pemeliharaan atau biaya mk barang
tersebut bisa dimanfaatkan sebagai ganti pembiayaan. Misal yg digadaikan
adl seekor sapi dan pihak pegadaian harus mengeluarkan biaya utk
pemeliharaan. mk pihak pegadaian boleh memerah susu dari sapi tersebut
sebagai ganti biaya perawatan. Dalil hadits riwayat Al-Bukhari dlm
Shahih- dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا، وَلَبَنُ الدُّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا
“Kendaraan yg tergadai boleh dinaiki nafkah dan susu hewan yg tergadai dapat diminum nafkahnya.”
2.
Tanah sawah yg digadai akan mengalami kerusakan bila tdk ditanami mk
pihak pegadaian bisa melakukan sistem mudharabah syar’i dgn pemilik
tanah sesuai kesepakatan yg umum berlaku di kalangan masyarakat setempat
tanpa ada rasa sungkan. Misal yg biasa berlaku adl 50%. Bila sawah yg
ditanami pihak pegadaian tadi menghasilkan mk pemilik tanah dapat 50%.
Namun bila si pemilik tanah merasa tdk enak krn dihutangi lalu dia hanya
mengambil 25% saja mk ini tdk diperbolehkan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Riba Fadhl
Definisi adl ada tafadhul pada dua perkara yg diwajibkan secara syar’i ada tamatsul padanya.
Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dgn riba khafi sebab riba ini merupakan pintu menuju riba nasi`ah.
Para
ulama berbeda pendapat tentang hukum riba fadhl. Yang rajih tanpa
keraguan lagi adl pendapat jumhur ulama bahwa riba fadhl adl haram dgn
dalil yg sangat banyak. Di antaranya:
1. Hadits ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim:
لاَ تَبِيْعُوا الدِّيْنَارَ بِالدِّيْنَارَيْنِ وَلاَ الدِّرْهَمَ بِالدِّرْهَمَيْنِ
“Jangan kalian menjual satu dinar dgn dua dinar jangan pula satu dirham dgn dua dirham.”
Juga hadits-hadits yg semakna dgn itu di antaranya:
a. Hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu yg muttafaq ‘alaih.
b. Hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim.
Juga
hadits yg diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Abu Hurairah Sa’d bin Abi
Waqqash Abu Bakrah Ma’mar bin Abdillah dan lain-lain yg menjelaskan
tentang keharaman riba fadhl tersebut dlm Ash-Shahihain atau salah
satunya.
Adapun dalil pihak yg membolehkan adl hadits Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّمَا الرِّبَا فِي النَّسِيْئَةِ
“Sesungguh riba itu hanya pada nasi`ah .”
Maka ada beberapa jawaban di antaranya:
a.
Makna hadits ini adl tdk ada riba yg lbh keras keharaman dan diancam
dgn hukuman keras kecuali riba nasi`ah. Sehingga yg ditiadakan adl
kesempurnaan bukan wujud asal riba.
b. Hadits tersebut dibawa kepada pengertian: Bila jenis berbeda mk diperbolehkan tafadhul dan diharamkan ada nasi`ah.
Ini
adl jawaban Al-Imam Asy-Syafi’i disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari
guru Sulaiman bin Harb. Jawaban ini pula yg dirajihkan oleh Al-Imam
Ath-Thabari Al-Imam Al-Baihaqi Ibnu Abdil Barr Ibnu Qudamah dan sejumlah
ulama besar lainnya.
Jawaban inilah yg mengompromikan antara hadits yg dzahir bertentangan. Wallahul muwaffiq.
Riba Nasi`ah
Yaitu ada tempo pada perkara yg diwajibkan secara syar’i ada taqabudh .
Riba
ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dgn riba jali dan para ulama sepakat
tentang keharaman riba jenis ini dgn dasar hadits Usamah bin Zaid di
atas. Banyak ulama yg membawakan ada kesepakatan akan haram riba jenis
ini.
Riba fadhl dan riba nasi`ah diistilahkan oleh para fuqaha dgn riba bai’ .
Kaidah Seputar Dua Jenis Riba
1.
Perkara yg diwajibkan secara syar’i ada tamatsul mk tdk boleh ada unsur
tafadhul pada sebab bisa terjatuh pada riba fadhl. Misal: Tidak boleh
menjual 1 dinar dgn 2 dinar atau 1 kg kurma dgn 15 kg kurma.
2.
Perkara yg diwajibkan ada tamatsul mk diharamkan ada nasi`ah sebab bisa
terjatuh pada riba nasi`ah dan fadhl bila barang satu jenis. Misal:
Tidak boleh menjual emas dgn emas secara tafadhul demikian pula tdk
boleh ada unsur nasi`ah.
3. Bila barang dari jenis yg berbeda mk
disyaratkan taqabudh saja yakni boleh tafadhul namun tdk boleh nasi`ah.
Misal menjual emas dgn perak atau kurma dgn garam. Transaksi ini boleh
tafadhul namun tdk boleh nasi`ah.
Ringkasnya:
a. Beli emas dgn emas secara tafadhul berarti terjadi riba fadhl.
b. Beli emas dgn emas secara tamatsul namun dgn nasi`ah mk terjadi riba nasi`ah.
c. Beli emas dgn emas secara tafadhul dan nasi`ah mk terjadi kedua jenis riba yaitu fadhl dan nasi`ah.
Hal
ini berlaku pada barang yg sejenis. Adapun yg berbeda jenis hanya
terjadi riba nasi`ah saja sebab tdk disyaratkan tamatsul namun hanya
disyaratkan taqabudh. Wallahu a’lam.
Untuk lbh memahami masalah ini
kita perlu menglasifikasikan barang-barang yg terkena riba yaitu emas
perak kurma burr sya’ir dan garam menjadi dua bagian:
Bagian pertama: emas perak .
Bagian kedua: kurma burr sya’ir dan garam.
Keterangannya:
1.
Masing-masing dari keenam barang di atas disebut satu jenis; jenis emas
jenis perak jenis mata uang jenis kurma demikian seterusnya. Kaidahnya:
bila jual beli barang sejenis misal emas dgn emas kurma dgn kurma dst
mk diwajibkan ada dua hal: tamatsul dan taqabudh.
2. Jual beli lain jenis pada bagian pertama atau bagian kedua hanya disyaratkan taqabudh dan boleh tafadhul.
Misal emas dgn perak atau sebalik emas dgn mata uang atau sebalik perak dgn mata uang atau sebaliknya. Ini utk bagian pertama.
Misal
utk bagian kedua: Kurma dgn burr atau sebalik sya’ir dgn garam atau
sebalik kurma dgn sya’ir kurma dgn garam atau sebaliknya.
Dalil dua
keterangan ini adl hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu yg
diriwayatkan oleh Muslim . Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ
وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ
بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ
يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَجْنَاسُ فَبِيْعُوا كَيْفَ
شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Emas dgn emas perak dgn perak
burr dgn burr sya’ir dgn sya’ir kurma dgn kurma garam dgn garam harus
semisal dgn semisal tangan dgn tangan . Namun bila jenis-jenis ini
berbeda mk juallah terserah kalian bila tangan dgn tangan .”
3. Jual beli bagian pertama dgn bagian kedua atau sebalik diperbolehkan tafadhul dan nasi`ah .
Misal
membeli garam dgn uang kurma dgn uang dan seterusnya. Hal ini
berdasarkan kesepakatan para ulama yg dinukil oleh Ibnul Mundzir Ibnu
Hazm Ibnu Qudamah Nashr Al-Maqdisi Al-Imam An-Nawawi dan sejumlah ulama
lain. Dalil mereka adl sistem salam yaitu menyerahkan uang di awal akad
utk barang tertentu dgn sifat tertentu dgn timbangan tertentu dan
diserahkan pada tempo tertentu.
Telah maklum bahwa alat bayar masa itu adl dinar dan dirham dan barang yg sering diminta adl kurma atau sya’ir atau burr .
Di antara dalil juga adl hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
إِنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُوْدِيٍّ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ
“Bahwasa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi
dan menggadaikan baju perang dari besi kepadanya.”
Makanan yg Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam beli di sini adl sya’ir sebagaimana lafadz
lain dari riwayat di atas dlm keadaan beliau tdk punya uang . Beliau
mengambil barang itu secara tempo dgn menggadaikan baju besinya. Wallahu
a’lam.
Ash-Sharf
Ash-sharf secara bahasa berarti memindah dan
mengembalikan. Sedangkan secara istilah fuqaha definisi ash-sharf adl
jual beli alat bayar dgn alat bayar sejenis atau beda jenis.
Ulama Syafi’iyyah dan yg lain membedakan: bila sejenis disebut murathalah dan bila beda jenis disebut ash-sharf.
Adapun mata uang dgn mata uang lbh dominan disebut ash-sharf.
Telah
dijelaskan di atas bahwa naqd adl salah satu bagian dari dua bagian
hasil klasifikasi barang-barang jenis riba. Telah dijelaskan pula bahwa
bila terjadi jual beli sesama jenis mk harus tamatsul dan taqabudh dan
bila lain jenis harus taqabudh boleh tafadhul.
Yang perlu dipahami
adl bahwa masing-masing mata uang yg beredar di dunia ini adl jenis
tersendiri . Sehingga bila terjadi tukar-menukar uang sejenis haruslah
taqabudh dan tamatsul. Misal uang Rp. 100.00000 ditukar dgn pecahan Rp.
10.00000 mk nominal harus sama. Bila tdk berarti terjatuh dlm riba
fadhl. Selain itu juga harus serah terima di tempat. Bila tdk berarti
terjatuh dlm riba nasi`ah. Bila tdk tamatsul dan tdk taqabudh berarti
terjatuh dlm riba fadhl dan riba nasi`ah sekaligus.
Namun bila mata
uang berlainan jenis mk harus taqabudh dan boleh tafadhul. Misal 1 dolar
bernilai Rp. 10.00000 bisa ditukar Rp. 9.50000 atau Rp. 10.50000 namun
harus serah terima di tempat. Wallahu a’lam.
Masalah 1: Taqabudh dlm bab ash-sharf adl syarat sah.
Ini
adl pendapat mayoritas besar ulama bahkan dinukilkan ada ijma’. Namun
Ibnu ‘Ulayyah berpendapat boleh berpisah tanpa taqabudh sebagaimana
dinukil oleh Al-Imam An-Nawawi.
Dalil jumhur ulama adalah:
1. Hadits Al-Bara` bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhum:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالْوَرِقِ دَيْنًا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli emas dgn perak secara hutang.”
2. Hadits Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu dia berkata:
أَمَرَنَا
رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَشْتَرِيَ
الْفِضَّةَ بِالذَّهَبِ كَيْفَ شِئْنَا وَنَشْتَرِيَ الذَّهَبَ
بِالْفِضَّةِ كَيْفَ شِئْنَا يَدًا بِيَدٍ
“Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan kami utk membeli perak dgn emas
sekehendak kami dan membeli emas dgn perak sekehendak kami bila tangan
dgn tangan .”
Dengan dasar di atas mk tdk boleh jual-beli emas dgn
perak dgn sistem tempo bila alat bayar adl mata uang. Begitu pula tdk
boleh jual-beli mata uang secara tempo bila alat bayar adl emas atau
perak. Ini adl fatwa para ulama kontemporer. Wallahul muwaffiq.
Masalah 2: Apakah taqabudh harus segera ataukah boleh ada masa jeda?
Yang
rajih dari pendapat para ulama adl pendapat jumhur bahwa taqabudh itu
boleh tarakhi walaupun sehari dua hari atau tiga hari ataupun berpindah
tempat selama kedua pihak masih belum berpisah. Dalil adl sebagai
berikut:
1. Disebutkan dlm Ash-Shahihain bahwa Malik bin Aus bin
Hadatsan radhiyallahu ‘anhu datang sambil berkata: “Siapa yg mau menukar
dirham?” mk Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu berkata –dan
‘Umar radhiyallahu ‘anhu berada di sisinya–: “Tunjukkan kepadaku emasmu
kemudian nanti engkau datang lagi setelah pembantuku datang lalu aku
berikan perak kepadamu.” ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pun menimpali: “Tidak
boleh. Demi Allah engkau berikan perak kepada atau engkau kembalikan
emasnya.”
Dalam lafadz Al-Bukhari disebutkan: Thalhah pun mengambil
emas tersebut lalu dia bolak-balikkan di telapak tangan dan berkata:
“Nanti hingga pembantuku datang dari hutan.” ‘Umar lalu berkata: “Demi
Allah engkau tdk boleh berpisah dengan sampai engkau mengambil .” ‘Umar
kemudian menyebutkan hadits:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ
“Emas dgn emas adl riba kecuali ha` dgn ha` .”
2.
Ucapan ‘Umar dgn sanad yg shahih: “Bila salah seorang dari kalian
melakukan ash-sharf dgn teman mk janganlah berpisah dengan hingga dia
mengambilnya. Bila dia meminta tunggu hingga masuk rumah jangan beri dia
masa tunggu tadi. Sebab saya khawatir engkau terkena riba.”
Pendapat ini dirajihkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani dlm An-Nail. Wallahu a’lam.
Yang
dimaksud dgn majelis akad adl tempat jual beli baik kedua berjalan
berdiri duduk atau dlm kendaraan. Sementara yg dimaksud dgn berpisah di
sini adl pisah badan dan hal itu kembali kepada kebiasaan masyarakat
setempat .
Bila pihak money changer tdk punya sisa uang dan harus
pergi ke tempat lain mk pihak penukar/pembeli wajib mengiringi ke mana
dia pergi hingga terjadi taqabudh di tempat yg dituju dan menyempurnakan
sisa kekurangannya. Wallahul muwaffiq.
Masalah 3: Bila sebagian uang telah diterima dan sisa tertunda apakah sah akad tukar-menukarnya/ akad ash-sharfnya?
Pendapat
Al-Imam Malik Al-Imam Asy-Syafi’i dan kalangan Azh-Zhahiriyyah
menyatakan: Bila sharf tdk dapat diserahterimakan seluruh mk akadpun
harus batal seluruhnya.
Sementara Abu Hanifah dan dua murid serta
satu sisi pendapat yg dikuatkan dlm madzhab Hanbali menyatakan: Yang
sudah diterima akad sah sementara yg belum diterima akad tdk sah.
Yang
rajih insya Allah adl pendapat kedua dan ini yg dikuatkan An-Nawawi
serta Ar-Ruyani dari kalangan Syafi’iyyah. Sebab hukum itu berjalan
bersama dgn ‘illat . Bila terpenuhi persyaratan sah mk akad pun sah
wallahu a’lam. Pendapat ini juga dirajihkan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullah.
Masalah 4: Apakah ada khiyar dlm bab ash-sharf?
Adapun
khiyar majlis jumhur ulama berpendapat bahwa khiyar majlis dlm bab
ash-sharf itu ada. Selama dlm majlis akad kedua belah pihak dapat
menggagalkan akad hingga kedua saling berpisah.
Mereka berhujjah dgn hadits Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
“Penjual dan pembeli khiyar selama kedua belum berpisah.”
Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah.
Adapun
tentang khiyar syarat misal menukar dolar dgn rupiah lalu sang penukar
mengatakan: “Dengan syarat saya punya hak khiyar selama tiga hari. Bila
tdk cocok mk saya kembalikan lagi” mk jumhur berpendapat bahwa bila dlm
perkara yg dipersyaratkan ada taqabudh seperti bab ash-sharf mk tdk
boleh. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah.
Masalah ini perlu perincian:
1.
Bila dia sudah melakukan akad jual-beli dgn sempurna lalu minta syarat
mk lbh baik dia tinggalkan walaupun secara dalil tdk ada yg melarang krn
sudah ada taqabudh dlm akad.
2. Bila dia bawa barang terlebih dahulu
sebelum terjadi akad lalu bermusyawarah dgn keluarga atau yg lain
setelah itu dia melakukan transaksi dgn taqabudh mk tdk mengapa.
Ini adl solusi terbaik yg disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Wallahu a’lam.
Masalah 5: Akad ash-sharf via telepon dan yg semisalnya.
Masalah ini perlu perincian:
1.
Bila yg dimaukan hanya memesan barang atau semacam janji utk membeli
barang tanpa akad yg sempurna mk diperbolehkan. Karena ‘pesan’ atau
‘janji’ tidaklah termasuk akad jual beli. Sang penjual punya hak menjual
kepada orang lain dan sang pembeli punya hak utk membatalkan ‘janji’
itu. Demikian pendapat Ibnu Hazm Ibnu Rusyd dan fatwa Al-Lajnah
Ad-Da`imah dan inilah pendapat yg shahih. Sementara Al-Imam Malik
memakruhkannya.
2. Bila yg dimaksud adl akad jual-beli secara
sempurna mk hukum haram sebab tdk ada unsur taqabudh. Dan ini merupakan
riba nasi`ah. Demikian fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah.
Masalah 6: Uang muka dlm bab ash-sharf.
Bila
yg diinginkan dgn uang muka/downpayment adl transaksi secara sempurna
mk hukum haram krn tdk ada unsur taqabudh. Sedangkan bila yg diinginkan
adl amanah atau simpanan lalu penyerahan pembayaran total dilakukan pada
saat akad serah terima barang mk hal ini tdk mengapa. Wallahu a’lam.
Masalah 7: Apakah disyaratkan ada barang di tempat dlm bab ash-sharf?
Pendapat
yg rajih adl pendapat jumhur ulama yg menyatakan bahwa diperbolehkan
akad ash-sharf walaupun tdk ada barang di tempat atau barang dikirimkan
setelah itu atau dgn meminjam kepada orang lain dan kemudian diserahkan.
Yang penting adl ada taqabudh dlm majelis akad sebelum berpisah.
Hujjah
mereka adl bahwa yg dipersyaratkan dlm bab ash-sharf adl taqabudh dan
hal itu telah terjadi dlm transaksi di atas. Wallahu a’lam.
Hiwalah Mashrafiyyah
Gambaran seseorang datang ke money changer ingin mengirim sejumlah uang ke Yaman –misalnya–. Masalah ini mempunyai dua keadaan:
1.
Orang yg dikirimi menerima mata uang yg sama. Misal dari Indonesia
mengirimkan uang 1000 dolar ke Yaman. Pihak penerima di Yaman menerima
dgn mata uang yg sama.
Para ulama memasukkan keadaan ini ke dlm salah satu masalah berikut:
a. Masalah hiwalah secara fiqih
b. Masalah ijarah
c. Sesuatu yg dahulu dikenal dgn istilah saftajah.
Keadaan ini diperbolehkan.
2.
Pihak yg dikirimi menerima dlm bentuk mata uang yg berbeda. Misal dari
Indonesia mengirim uang Rp. 10 juta ke Yaman. Sedangkan pihak penerima
di Yaman menerima dlm bentuk uang 900 dolar .
Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama kontemporer:
Sebagian mereka melarang krn keadaan ini mengandung unsur hiwalah dan
ash-sharf padahal dlm ash-sharf disyaratkan ada taqabudh. Sedangkan pada
keadaan di atas tdk ada unsur taqabudh.
Ini adl fatwa Asy-Syaikh
Shalih Al-Fauzan dan dzahir fatwa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullah. Ini juga fatwa Syaikhuna Yahya Al-Hajuri hafizhahullah.
Mayoritas ulama kontemporer berfatwa tentang kebolehan krn kebutuhan dan keadaan darurat.
Namun
tdk diragukan lagi bahwa yg lbh selamat bagi agama seseorang dan
sebagai upaya menghindari pintu riba adl dia tdk melakukan transaksi
seperti ini.
Para ulama memberikan beberapa solusi di antaranya:
1.
Mensyaratkan kepada pihak penyelenggara jasa transfer utk mengirimkan
mata uang yg sama ke tempat yg dituju. Dan ini mungkin dilakukan dgn
cara memberikan uang jasa kepada mereka.
2. Menukar mata uang terlebih dahulu baru dia kirim dgn mata uang yg diinginkan.
Misal
seseorang mempunyai uang Rp. 10 juta hendak dikirim ke Arab Saudi dlm
bentuk real. mk dia tukar terlebih dahulu uang rupiah itu dgn real Saudi
baru dia minta pihak penyelenggara jasa mengirimkan dlm bentuk real
Saudi. Bila dia telah yakin akan sampai di Arab Saudi dlm bentuk real
namun ternyata sampai dlm bentuk rupiah mk tdk mengapa bagi penerima utk
mengambil rupiah itu krn keadan darurat. Wallahu a’lam.
Masalah
8: Bagaimana bila sebuah mata uang tdk bisa keluar dari negeri krn
larangan pemerintah setempat atau krn tdk ada nilai di luar negeri?
Misal
seseorang mempunyai sejumlah uang real Saudi dan hendak mengirimkan ke
Indonesia dlm bentuk rupiah. Dia ingin menukar real Saudi dgn rupiah
namun krn rupiah jatuh tdk ada satupun money changer yg mau. Solusi
adalah:
1. Dia langsung mengirim dlm bentuk real Saudi ke Indonesia.
Penerima di Indonesia menerima real tersebut kemudian ditukar dgn rupiah
di Indonesia.
2. Atau bila real Saudi tdk bisa keluar mk dia tukar
real dgn dolar –misalnya– lalu dia kirimkan dolar ke Indonesia. Penerima
di Indonesia menerima dlm bentuk dolar kemudian ditukar dgn rupiah di
Indonesia.
Wallahul muwaffiq.
Penggunaan Cek dlm Ash-Sharf
Dari
permasalahan hiwalah mashrafiyyah di atas muncul masalah kontemporer yg
sangat masyhur yaitu menggunakan kertas cek dlm bab ash-sharf baik dlm
jual beli emas dan perak maupun tukar-menukar mata uang dgn cek.
Permasalahan
ini dibahas oleh para ulama khusus dlm hal cek resmi yg diakui atau
dikeluarkan oleh pihak bank. Adapun cek palsu atau yg tdk diakui pihak
bank mk jelas larangannya.
Para ulama berbeda pandangan dlm masalah
ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa dlm masalah ash-sharf atau yg
dipersyaratkan ada taqabudh tdk boleh ada hiwalah .
Dalam masalah cek apakah sudah terjadi taqabudh yg hakiki ataukah tidak?
Sebagian
ulama masa kini semisal Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu
berpendapat bahwa muamalah jual beli emas dan perak atau mata uang
menggunakan cek adl tdk boleh. Karena cek bukanlah taqabudh hakiki
melainkan hanya bukti hiwalah saja. Terbukti bila cek tersebut hilang
dia bisa minta lagi cek dgn nominal yg sama. Namun beliau mengecualikan
cek yg resmi dari bank mk tdk mengapa asalkan sang penjual yg menerima
cek dari pembeli langsung menghubungi bank dan mengatakan: “Biarkan uang
itu sebagai simpanan di situ.”
Ulama yg melarang beralasan dgn beberapa hal sebagai berikut:
1.
Bila cek itu rusak atau hilang sebelum uang dgn nominal yg tercantum
itu diambil mk sang pemegang cek akan kembali kepada yg memberi cek.
Bila cek tersebut adl serah terima hakiki layak mata uang niscaya dia
tdk akan kembali ketika hilang atau rusak.
2. Terkadang cek tersebut ditarik tanpa nominal mk jelas tdk ada serah terima yg hakiki.
3. Terkadang pula orang yg menukar cek ditolak sehingga juga tdk ada serah terima yg hakiki.
4. Cek tdk termasuk kertas alat bayar layak mata uang namun hanya kertas yg berisikan nominal mata uang.
Sementara
itu mayoritas ulama dan fuqaha zaman ini serta para pakar ekonomi
berpendapat bahwa cek mengandung qabdh yg sempurna lagi hakiki sehingga
dapat bertransaksi menggunakan cek dlm bab ash-sharf. Alasan mereka adl
sebagai berikut:
1. Sesungguh dlm syariat disebutkan masalah qabdh
namun tdk ditentukan batasannya. Tidak pula diikat dgn kriteria
tertentu. Rujukan hukum-hukum yg bersifat umum seperti ini adl kebiasaan
setempat. Sementara secara kebiasaan yg terjadi di kalangan pebisnis
cek adl serah terima yg sempurna terhadap apa yg terkandung di dalamnya.
2.
Cek yg resmi dan diakui tidaklah akan dikeluarkan kecuali setelah
diyakini ada debet-kredit pemilik cek pada sebuah bank. Dan ini yg
dimaksud dgn hiwalah dlm fiqih Islami .
3. Keadaan darurat membuat
cek tersebut dijadikan sebagai serah terima yg hakiki. Kaidah ini ada
dlm syariat yaitu: “Keadaan darurat membolehkan perkara yg haram”
“Kebutuhan yg umum memiliki hukum darurat” “Kesulitan mendatangkan
kemudahan” “Bila perkara menjadi sempit mk datanglah keluasan.”
Kaidah-kaidah seperti ini diambil dari kemudahan-kemudahan Islam yg
tertuang dlm banyak dalil di antaranya:
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Sesungguh bersama kesusahan ada kemudahan.”
Juga ayat:
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki utk kemudahan bagi kalian dan tdk menghendaki kesukaran bagi kalian.”
4.
Memudahkan perjalanan bisnis dan mengurangi resiko serta penjagaan
terhadap harta benda yg dapat memotivasi para pebisnis utk melangsungkan
bisnis dan menunjukkan kemudahan-kemudahan Islam.
Pendapat ini adl
kesepakatan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami pada Rabithah ‘Alam Islami yg
dipimpin oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz. Juga pada fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah
yg diketuai Asy-Syaikh Ibnu Baz yg beranggotakan Asy-Syaikh Abdurrazzaq
‘Afifi Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud dan Asy-Syaikh Al-Ghudayyan. Mereka
beralasan krn kebutuhan umum.
Bila menilik kepada dalil-dalil syar’i
mk yg rajih adl pendapat yg melarang. Namun dari sisi kebutuhan dan
keadaan yg darurat mk diperbolehkan. Oleh krn itu hendak seorang muslim
tdk bermuamalah dgn cara ini kecuali dlm keadaan darurat saja. Wallahul
muwaffiq.
Jual-beli Valas
Dari uraian-uraian di atas kita dapat memahami hukum jual-beli valas secara syar’i dgn penjabaran sebagai berikut:
1. Bila jual-beli valas dari mata uang sejenis misal dolar dgn dolar mk disyaratkan ada tamatsul dan taqabudh.
2. Bila dari jenis mata uang yg berbeda misal rupiah dgn dolar atau dolar dgn poundsterling hanya disyaratkan ada taqabudh.
Dengan dasar kaidah di atas maka:
a.
Tidak mengapa menanti naik-turun kurs sebuah mata uang yg dikehendaki
bila terpenuhi persyaratan secara syar’i di atas ketika transaksi.
b. Tidak diperbolehkan transaksi via transfer ATM atau sejenis sebab tdk terjadi taqabudh yg disyaratkan.
c. Tidak boleh terjadi pertaruhan berbau judi dlm jual beli valas.
Wallahu a’lam bish-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar